Pages

Ads 468x60px

Minggu, 28 Juli 2013

Budaya Mawarung di Banjarmasin

Warung tak sekadar tempat makan,
tapi juga melahirkan kebudayaan


Jika Anda tinggal di Banjarmasin dan punya cukup uang di kantong, niscaya Anda tidak bakal kelaparan meski Anda mencari makan di waktu tengah malam. Tempat-tempat yang bias didatangi seperti Kayutangi, Pasar Lama, atau S Parman. Sedangkan kalau cari makan di luar midnight menu, saat pagi sampai jam sepuluh malam misalnya, ke mana pun kaki Anda melangkah, Anda pasti menemukan warung makan (asal bukan ke kuburan). Jenisnya pun bermacam-macam, tinggal pilih.
Menjamurnya warung-warung makan di kota Banjarmasin ini, apakah itu membuktikan kalau memiliki budaya mawarung atawa katuju makan? Sampai saat ini memang belum ada penelitian ilmiah tentang itu. Namun konon ceritanya, urang Banjar  itu memang katuju mawarung.
Di warung memang tak melulu harus makan, bisa saja hanya secangkir kopi atawa segelas teh dingin (sudah mafhum di banua, teh dingin artinya teh hangat atau malah panas dengan uap yang masih mengepul-ngepul). Ada jua teh lapas alias teh kada bagula. Nah, acara mawarung yang hanya memesan teh dingin atawa kopi inilah yang justru sering berlama-lama di warung ketimbang mereka yang memesan makanan seperti nasi kuning, lontong atau katupat kandangan.
Bubuhannya yang sering berlama-lama di warung ini jualah yang memberikan gambaran salah satu ciri urang banua yang “sesungguhnya”. Banyak kisah yang dapat didengar dari bubuhannya ini, mulai kisah sehari-hari, bahapakan, balocoan, sampai berita-berita terkini di koran atau televisi. Dan mungkin dari warung ini pulalah sehingga lahir istilah panderan di warung, raja kisah atau tukang kisah. Mungkin sesekali kita juga akan menemukan orang-orang di warung dengan sarung membalut tubuhnya, duduk menjongkok di atas bangku sambil makan atawa maroko—dan barangkali inilah salah satu ciri khas urang banua yang masih indigenous.
Berbicara mengenai budaya mawarung di Banjarmasin, budaya ini seperti yang kita tahu banyak dilakukan oleh orang dewasa (bubuhan tutuha) sambil memesan minum seperti the atau kopi mereka mulai mulai berbincang-bincang (bakisahan/bapandiran) dan yang biasanya jadi topik perbincangan adalah masalah politik, pembangunan daerah seperti jalan rusak, macet, dll.
Ternyata sekarang ini tidak hanya kaum tua saja yang melakukan budaya mwarung ini, begitu juga kaum muda terutama dari mahasiswa. Biasanya mereka beroperasi di pasar lama, kampung melayu atau kayutangi dan waktunya dari pukul 8, 9, atau 10 malam sampai pukul 2, 3, 4 pagi. Luar biasa sekali mereka-mereka ini. bayangkan saja dalam interval waktu selama itu berapa kisah dihabiskan diwarung. Biasanya mereka juga bekisahan mengenai politik, beradu argument mengenai apa yang terjadi dipemerintahan ssekarang, kemudian bias juga ngobrol tentang gossip di televise, terkadang juga mebahas masalah kuliah seperti tugas-tugas kuliah, bias juga memandirakan dosen, dan tak ketinggalan bepandiran masalah bola (2 jam bisa kada habis-habis memandirakannya). Uniknya lagi dari mahasiswa-mahasiswa tersebut ada yang melakukan yang biasa disebut rapat-rapat kegiatan organisasi diwarung.
Tentunya semua yang dilakukan diatas sambil memesan banyu, seperti teh dingin, atau kopi. Kalonya dipasar lama biasanya memesan nasi atau mie instan. Jika makanan atau minumannya habis mereka akan memesannya lagi kecuali kisah yang di pandirakan  habis.tetapi biasanya cerita atau kisah atau pandiran akan habis kalau mereka sudah merasa kelelahan mungkin mengantuk, jadi slema mereka belum lelah hal tersebut tidak akan selesai apalagi kalau topiknya menarik seperti sepak bola. Tuntung  memandirkan liga inggris sambung lagi ke liga italia, tuntung liga italia sambung lagi ke liga jerman. Tuntung mebicarakan satu pemain sambung lagi kepemain lain. Tahan sampai 2 jam kada behabisan. Dan itu belum lagi disambung dengan cerita-cerita lainnya. Akan tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Hal tersebut sudah menjadi salah satu budaya yang ada di Banjarmasin dan budaya ini tidak kenal waktu, tidak harus menunggu acara resmi, tetapi dilakukan hampir setiap hari siang atau malam.
Jika dilihat dari segi manfaat disini penulis agak sedikit kebingungan. Mungkin manfaatnya dari budaya mawarung itu sendiri adalah menjalin kedekatan yang lebih lagi sebagai sesama orang banjar dan saling sharing pengetahuan yang dimiliki. Akan tetapi ada juga sisi negatifnya dari melakukan hal tersebut. Mungkin jika dibutirkan akan menjadi seperti berikut ini.
Manfaat dari budaya mawarung:
-          Bertukar pengalaman antar sesama, pengalaman kerja maupun pengalaman berumah tangga,
-          Saling mengenal satu sama lain, tidak perlu ikut outbound untuk bisa saling mengenal.
-          Bisa mentraktir atau ditraktir, kalau untuk yang satu ini, ada suka dan dukanya
Kekurangannya :
-          Jangan sering-sering mawarung soalnya kalau yang sudah bekerja pasti “iling-iling” alias ingat diri, kalau pengangguran ya teruskan saja.
-          Jangan sering juga, duit menipis gara-gara ngemil atau makanan kecil. Biasanya karena keasyikan bercerita jika minumannya habis maka akan nambah lagi, dan terkadang bias juga teraasa lapar lalu memesan makanan lagi padahal mungkin 2 jam yang lalu baru saja makan.
-          Terkadang biasanya mawarung pada malam hari mereka lupa akan waktu. Tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 2 atau 3 pagi. Jika keseringan begadang juga tidak baik bagi kesehatan tubuh.

Secara ekonomis, mawarung sudah tentu tidak menguntungkan. Namun nilai praktisnya jelas lebih tinggi. Kita cukup menjentikkan jari, baca daftar menu, tunggu 10 menit, maka segera berdatanganlah makanlah yang kita pesan, terkadang ada juga tempat yang makanannya ambil sendiri. Nilai praktis ini juga sudah termasuk tempat meja-kursi, musik, kenyamanan dan terkadang nilai artistik interior restoran— tentu saja semuanya tidak serba “gratis”, dan karenanya saat membayar bill tagihannya terkadang begitu mahal. Yeah, karena kita juga harus membayar semua pelayanan itu. Dan karena dimanjakan dengan layanan dan kenyamanan ini jualah terkadang membuat orang suka berlama-lama di restoran ketimbang berlama-lama di meja makan rumah sendiri.

Halnya betah berlama-lama di warung-warung kecil yang biasanya menu utamanya wadai khas banua dengan teh atau kopi, di komunitas ini seringkali nilai “kisahnya” yang membuat orang enggan beranjak dari bangku. Semakin menarik kisah atau cara mengisahkannya, semakin panjanglah jam duduknya di warung. Bagaimana dengan gawian? Nah, itu pula yang penulis sendiri agak bingung memikirkannya.

Tapi tak mustahil dari warung-warung kecil banua inilah muncul tukang kisah-tukang kisah yang hebat, mulai dari bamadihin sampai bapantun. Syukur-syukur nanti bakal lahir jua tukang tulis kisah yang harat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar