Warung
tak sekadar tempat makan,
tapi
juga melahirkan kebudayaan
Jika
Anda tinggal di Banjarmasin dan punya cukup uang di kantong, niscaya Anda tidak
bakal kelaparan meski Anda mencari makan di waktu tengah malam. Tempat-tempat
yang bias didatangi seperti Kayutangi, Pasar Lama, atau S Parman. Sedangkan
kalau cari makan di luar midnight menu, saat pagi sampai jam sepuluh
malam misalnya, ke mana pun kaki Anda melangkah, Anda pasti menemukan warung
makan (asal bukan ke kuburan). Jenisnya pun bermacam-macam, tinggal pilih.
Menjamurnya warung-warung makan di
kota Banjarmasin ini, apakah itu membuktikan kalau memiliki budaya mawarung
atawa katuju makan? Sampai saat ini memang belum ada penelitian ilmiah
tentang itu. Namun konon ceritanya, urang Banjar itu memang katuju mawarung.
Di warung memang tak melulu harus
makan, bisa saja hanya secangkir kopi atawa segelas teh dingin (sudah mafhum di
banua, teh dingin artinya teh hangat atau malah panas dengan uap yang
masih mengepul-ngepul). Ada jua teh lapas alias teh kada bagula.
Nah, acara mawarung yang hanya memesan teh dingin atawa kopi inilah
yang justru sering berlama-lama di warung ketimbang mereka yang memesan makanan
seperti nasi kuning, lontong atau katupat kandangan.
Bubuhannya yang sering
berlama-lama di warung ini jualah yang memberikan gambaran salah satu ciri urang
banua yang “sesungguhnya”. Banyak kisah yang dapat didengar dari bubuhannya
ini, mulai kisah sehari-hari, bahapakan, balocoan, sampai
berita-berita terkini di koran atau televisi. Dan mungkin dari warung ini
pulalah sehingga lahir istilah panderan di warung, raja kisah
atau tukang kisah. Mungkin sesekali kita juga akan menemukan
orang-orang di warung dengan sarung membalut tubuhnya, duduk menjongkok di atas
bangku sambil makan atawa maroko—dan barangkali inilah salah satu ciri
khas urang banua yang masih indigenous.
Berbicara mengenai
budaya mawarung di Banjarmasin, budaya ini seperti yang kita tahu banyak
dilakukan oleh orang dewasa (bubuhan
tutuha) sambil memesan minum seperti the atau kopi mereka mulai mulai
berbincang-bincang (bakisahan/bapandiran)
dan yang biasanya jadi topik perbincangan adalah masalah politik, pembangunan
daerah seperti jalan rusak, macet, dll.
Ternyata
sekarang ini tidak hanya kaum tua saja yang melakukan budaya mwarung ini,
begitu juga kaum muda terutama dari mahasiswa. Biasanya mereka beroperasi di
pasar lama, kampung melayu atau kayutangi dan waktunya dari pukul 8, 9, atau 10
malam sampai pukul 2, 3, 4 pagi. Luar biasa sekali mereka-mereka ini. bayangkan
saja dalam interval waktu selama itu berapa kisah dihabiskan diwarung. Biasanya
mereka juga bekisahan mengenai politik, beradu argument mengenai apa yang
terjadi dipemerintahan ssekarang, kemudian bias juga ngobrol tentang gossip di
televise, terkadang juga mebahas masalah kuliah seperti tugas-tugas kuliah,
bias juga memandirakan dosen, dan tak
ketinggalan bepandiran masalah bola (2 jam bisa kada habis-habis
memandirakannya). Uniknya lagi dari mahasiswa-mahasiswa tersebut ada yang
melakukan yang biasa disebut rapat-rapat kegiatan organisasi diwarung.
Tentunya semua
yang dilakukan diatas sambil memesan banyu, seperti teh dingin, atau kopi.
Kalonya dipasar lama biasanya memesan nasi atau mie instan. Jika makanan atau
minumannya habis mereka akan memesannya lagi kecuali kisah yang di pandirakan
habis.tetapi biasanya cerita atau kisah atau pandiran akan habis
kalau mereka sudah merasa kelelahan mungkin mengantuk, jadi slema mereka belum
lelah hal tersebut tidak akan selesai apalagi kalau topiknya menarik seperti
sepak bola. Tuntung memandirkan
liga inggris sambung lagi ke liga italia, tuntung liga italia sambung lagi ke liga jerman. Tuntung mebicarakan satu pemain sambung
lagi kepemain lain. Tahan sampai 2 jam kada
behabisan. Dan itu belum lagi disambung dengan cerita-cerita lainnya. Akan
tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Hal tersebut sudah menjadi salah satu
budaya yang ada di Banjarmasin dan budaya ini tidak kenal waktu, tidak harus
menunggu acara resmi, tetapi dilakukan hampir setiap hari siang atau malam.
Jika dilihat
dari segi manfaat disini penulis agak sedikit kebingungan. Mungkin manfaatnya
dari budaya mawarung itu sendiri adalah menjalin kedekatan yang lebih lagi
sebagai sesama orang banjar dan saling sharing pengetahuan yang dimiliki. Akan
tetapi ada juga sisi negatifnya dari melakukan hal tersebut. Mungkin jika
dibutirkan akan menjadi seperti berikut ini.
Manfaat dari
budaya mawarung:
-
Bertukar pengalaman antar sesama, pengalaman
kerja maupun pengalaman berumah tangga,
-
Saling mengenal satu sama lain, tidak
perlu ikut outbound untuk bisa saling mengenal.
-
Bisa mentraktir atau ditraktir, kalau
untuk yang satu ini, ada suka dan dukanya
Kekurangannya :
-
Jangan sering-sering mawarung soalnya
kalau yang sudah bekerja pasti “iling-iling” alias ingat diri, kalau
pengangguran ya teruskan saja.
-
Jangan sering juga, duit menipis
gara-gara ngemil atau makanan kecil. Biasanya karena keasyikan bercerita jika
minumannya habis maka akan nambah lagi, dan terkadang bias juga teraasa lapar
lalu memesan makanan lagi padahal mungkin 2 jam yang lalu baru saja makan.
-
Terkadang biasanya mawarung pada malam
hari mereka lupa akan waktu. Tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 2 atau 3
pagi. Jika keseringan begadang juga tidak baik bagi kesehatan tubuh.
Secara ekonomis, mawarung sudah tentu tidak
menguntungkan. Namun nilai praktisnya jelas lebih tinggi. Kita cukup
menjentikkan jari, baca daftar menu, tunggu 10 menit, maka segera
berdatanganlah makanlah yang kita pesan, terkadang ada juga tempat yang
makanannya ambil sendiri. Nilai praktis ini juga sudah termasuk tempat
meja-kursi, musik, kenyamanan dan terkadang nilai artistik interior restoran—
tentu saja semuanya tidak serba “gratis”, dan karenanya saat membayar bill tagihannya
terkadang begitu mahal. Yeah, karena kita juga harus membayar semua
pelayanan itu. Dan karena dimanjakan dengan layanan dan kenyamanan ini jualah
terkadang membuat orang suka berlama-lama di restoran ketimbang berlama-lama di
meja makan rumah sendiri.
Halnya betah berlama-lama di warung-warung kecil yang
biasanya menu utamanya wadai khas banua dengan teh atau kopi, di
komunitas ini seringkali nilai “kisahnya” yang membuat orang enggan beranjak
dari bangku. Semakin menarik kisah atau cara mengisahkannya, semakin panjanglah
jam duduknya di warung. Bagaimana dengan gawian? Nah, itu pula yang
penulis sendiri agak bingung memikirkannya.
Tapi
tak mustahil dari warung-warung kecil banua inilah muncul tukang
kisah-tukang kisah yang hebat, mulai dari bamadihin sampai bapantun.
Syukur-syukur nanti bakal lahir jua tukang tulis kisah yang harat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar